Skip to main content

Salahkah Elegiku?


Hei, apakah bagimu segenggam duri bisa menjadi hiasan ronce kembang melati? Aku tuliskan bait-bait elegi dengan pena bertintakan rintihan airmata. Kemudian ku hidangkan pada mereka yang sedang haus dan kelaparan kata-kata. Kau adalah salah satu yang menelannya dan tersedak racun dari puisi elegiku

Hahahahaa... !
Aku pandai menggambar fatamorgana yang menciptakan sebuah ilusi manis menipu mata. Ku kirimkan indahnya ilusi manis sebuah cinta melalui rintik derai hujan. Sampai butiran-butiran air yang mengisyaratkan rintik derai hujan berebut mengutarakan isi hatinya. Gambar yang kuciptakan itu seperti belati bermata dua yang siap mencabik dan mengoyak relung hati siapa saja yang mendengar jadi luluh lantak.

Aku bukanlah penggila yang menghambakan dirinya pada cinta. Elegi telah membawa tubuhku terbang mengembara. Mengendarai kata-kata netizan yang maha benar. Zaman dimana semuanya menghujat, dan mencemooh goresan isak tangismu hanyalah seonggok sampah! Sampah!

Apa yang salah dengan elegiku? Kini aku terbakar dari ujung kepala yang dipenuhi kalimat barbar, hingga kakiku yang berkasutkan bara api ingin menginjakmu. Haruskah mahkota elegiku berubah menjadi sarkasme cinta? Tapi sisi lain diri ini berteriak, berontak meminta tak digantikan

Hei hentikan! Bisakah kalian berhenti menyalahkan pendosa ini! Atau aku harus menidurkan diriku yang jalang ini di padang ilalang. Karena di sana aku tak akan lagi menjumpai sarkasme cinta. Tapi aku akan nyenyak tertidur pulas dalam pelukan luka.

Jakarta,
Angel Sibarani

Comments

Popular posts from this blog

Aku dan hidupku

Sinar mentari kembali semangati pagiku Sadarkanku dari mimpi berlalu semalam Berharap hari baru kulalui dengan ceria Selalu menjalani hidup dengan hati gembira Kadang angin kencang berhentikan langkahku Pernah juga aku terjatuh dan kemudian terluka Namun aku segera bangkit teruskan perjalanan Karena aku yakin pasti bahagia didepan menanti Emosi tak pernah bercampur logika Tapi semakin dewasa aku mengerti Tentang makna tawa dan air mata Yang mewarnai hari memberi arti Aku akan tetap menjadi diriku sendiri Dan biarkan mereka yang menilaiku Karena Inilah aku yang apa adanya Inilah aku dan hidupku... Jakarta, Angel Sibarani

Ternyata kau bukan untukku

Jauh darimu aku hanya sebuah angan Berada dihadapanmu jadi sebuah bayang Tak berarti apa-apa Tak guna apa-apa Aku bahagia saat jenuhku bersamamu Meski kau acuh atas rasa itu Aku tau, mengerti, dan juga paham Hatimu hanya untuk yang kau beri senyum Bahkan waktuku tak mampu menggantinya Tak bisa sedetikpun memalingkanmu darinya Sekarang aku sadar Ragamu selalu bersama dan menemaniku Namun hati dan pikiranmu terpaut padanya Tapi tenanglah Itu tak membuatku meninggalkanmu Akan kusimpan baik-baik rasa ini Akan kubuatkan ruang tersendiri dihatiku Akan aku lepas kamu Namun akan kujaga kamu dari kejauhan Karena aku tak mau mengurungmu dalam kemunafikan Jakarta, Angel sibarani

Permintaan Sang Pendosa

Tiap mata memandang mentari Yang bisa kutatap hanya hitam Hati di dada menghitam Tiada seberkas cahaya tebersit Kuhabiskan sesalku setiap hari Akan dosa yang menggunung Akan dosa yang tiada diampuni Aku hanya kain bernoda hitam Setiap detik dosaku tempatku bernaung Rasa bersalah kini menggerogoti hati Hati yang kini kian menggunung es Kebaikan bertarung di daging hati Keburukan menetap di jiwa raga Bergulat hingga akal dicumbu nafsu Aku ingin mencampakkan hitamku Berlari sejauh kaki membawa tubuh Kutinggalkan dosa yang kian melangit Aku ingin bersih kembali meski tak suci Sesak rasanya berkubang hina Dosa itu seakan enggan hilang Aku muak pada kenyataan yang mengikat Tuhan aku ingin bebas dari belenggu dosa Kini aku bertaruh pada daun yang bertiup Hanya itu kuingin hingga ajal menjemput Sungguh aku ingin melupakan saat kelamku Keinginan tetaplah hanya tinggal keinginan Meski setelah hujan terlukis pelangi Tuhan izinkan aku berubah Berilah aku set