Disepotong senja yang perlahan mulai datang menyapa, ku coba tuliskan sebuah rasa yang tersirat dalam sebuah sajak. Ada sesuatu yang tak dapat aku ungkapkan. Ada keinginan yang tak lagi terbendung. Ada sebuah rasa yang memaksa minta diutarakan.
Andai saja aku bisa kembali waktu pertama kali mata kita saling mengadu. Sungguh, aku tak ingin membalas tatapanmu. Andai saja aku bisa kembali saat pertama kali sosokmu diam-diam dapat mencairkan kokohnya gunung es dalam hati ini. Aku akan pergi berlari menjauh dan mengabaikan keberadaanmu.
Jika aku paham tatapan dan senyummu adalah magnet yang dapat menarik hatiku, aku akan berpikir beribu-ribu kali untuk menatap matamu saat itu. Jika aku tahu keberadaanmu akan menjadi alasanku untuk tersenyum melewati hari-hari, harusnya aku tak mengizinkan cerita kita berlanjut setelah pertemuan kala itu.
Maaf, pelan-pelan aku telah mengajakmu masuk dalam zonaku. Maaf, aku hanya mampu mencintaimu dalam barisan kata di sajakku, karena waktu dan takdir tak berpihak pada kita. Aku hanya memiliki satu hati dan telah memilihmu di saat yang salah. Seperti itulah cinta datangnya selalu tanpa permisi, kemudian menjatuhkan pilihan pada orang dan waktu yang tidak tepat.
Namun salahkah jika hatiku memilih untuk mencintaimu? Salahkah jika aku memilih menantimu dalam ketidakpastian dan mempercayakan semuanya pada waktu yang tak pernah berpihak pada kita? Salahkah jika dalam sepi dan diam aku menanti saat dimana waktu memilih untuk memihak pada kita?
Jika suatu hari nanti waktu memutuskan untuk memihak pada kita, aku berdoa semoga kamu mengambil tempatku. Sehingga kamu mengerti bahwa mencintaimu dalam sajak membuatku mati dalam ketidakpastian. Bahwa mencintaimu dalam barisan kata membuat hatiku tak mampu membuka ruang untuk keberadaan cinta yang lain.
Ini tulisanku untukmu yang kucintai dalam diam, dalam bait goresan sajakku. Tolong bantu sadarkan aku, bahwa saat ini waktu belum memilih untuk menyatukan kita.
Jakarta,
Angel Sibarani
Comments
Post a Comment