Skip to main content

Goresan Rasa di Sepenggal Sajakku



Disepotong senja yang perlahan mulai datang menyapa, ku coba tuliskan sebuah rasa yang tersirat dalam sebuah sajak. Ada sesuatu yang tak dapat aku ungkapkan. Ada keinginan yang tak lagi terbendung. Ada sebuah rasa yang memaksa minta diutarakan.

Andai saja aku bisa kembali waktu pertama kali mata kita saling mengadu. Sungguh, aku tak ingin membalas tatapanmu. Andai saja aku bisa kembali saat pertama kali sosokmu diam-diam dapat mencairkan kokohnya gunung es dalam hati ini. Aku akan pergi berlari menjauh dan mengabaikan keberadaanmu.

Jika aku paham tatapan dan senyummu adalah magnet yang dapat menarik hatiku, aku akan berpikir beribu-ribu kali untuk menatap matamu saat itu. Jika aku tahu keberadaanmu akan menjadi alasanku untuk tersenyum melewati hari-hari, harusnya aku tak mengizinkan cerita kita berlanjut setelah pertemuan kala itu.

Maaf, pelan-pelan aku telah mengajakmu masuk dalam zonaku. Maaf, aku hanya mampu mencintaimu dalam barisan kata di sajakku, karena waktu dan takdir tak berpihak pada kita. Aku hanya memiliki satu hati dan telah memilihmu di saat yang salah. Seperti itulah cinta datangnya selalu tanpa permisi, kemudian menjatuhkan pilihan pada orang dan waktu yang tidak tepat.

Namun salahkah jika hatiku memilih untuk mencintaimu? Salahkah jika aku memilih menantimu dalam ketidakpastian dan mempercayakan semuanya pada waktu yang tak pernah berpihak pada kita? Salahkah jika dalam sepi dan diam aku menanti saat dimana waktu memilih untuk memihak pada kita?

Jika suatu hari nanti waktu memutuskan untuk memihak pada kita, aku berdoa semoga kamu mengambil tempatku. Sehingga kamu mengerti bahwa mencintaimu dalam sajak membuatku mati dalam ketidakpastian. Bahwa mencintaimu dalam barisan kata membuat hatiku tak mampu membuka ruang untuk keberadaan cinta yang lain.

Ini tulisanku untukmu yang kucintai dalam diam, dalam bait goresan sajakku. Tolong bantu sadarkan aku, bahwa saat ini waktu belum memilih untuk menyatukan kita.

Jakarta,
Angel Sibarani

Comments

Popular posts from this blog

Aku dan hidupku

Sinar mentari kembali semangati pagiku Sadarkanku dari mimpi berlalu semalam Berharap hari baru kulalui dengan ceria Selalu menjalani hidup dengan hati gembira Kadang angin kencang berhentikan langkahku Pernah juga aku terjatuh dan kemudian terluka Namun aku segera bangkit teruskan perjalanan Karena aku yakin pasti bahagia didepan menanti Emosi tak pernah bercampur logika Tapi semakin dewasa aku mengerti Tentang makna tawa dan air mata Yang mewarnai hari memberi arti Aku akan tetap menjadi diriku sendiri Dan biarkan mereka yang menilaiku Karena Inilah aku yang apa adanya Inilah aku dan hidupku... Jakarta, Angel Sibarani

Ternyata kau bukan untukku

Jauh darimu aku hanya sebuah angan Berada dihadapanmu jadi sebuah bayang Tak berarti apa-apa Tak guna apa-apa Aku bahagia saat jenuhku bersamamu Meski kau acuh atas rasa itu Aku tau, mengerti, dan juga paham Hatimu hanya untuk yang kau beri senyum Bahkan waktuku tak mampu menggantinya Tak bisa sedetikpun memalingkanmu darinya Sekarang aku sadar Ragamu selalu bersama dan menemaniku Namun hati dan pikiranmu terpaut padanya Tapi tenanglah Itu tak membuatku meninggalkanmu Akan kusimpan baik-baik rasa ini Akan kubuatkan ruang tersendiri dihatiku Akan aku lepas kamu Namun akan kujaga kamu dari kejauhan Karena aku tak mau mengurungmu dalam kemunafikan Jakarta, Angel sibarani

Permintaan Sang Pendosa

Tiap mata memandang mentari Yang bisa kutatap hanya hitam Hati di dada menghitam Tiada seberkas cahaya tebersit Kuhabiskan sesalku setiap hari Akan dosa yang menggunung Akan dosa yang tiada diampuni Aku hanya kain bernoda hitam Setiap detik dosaku tempatku bernaung Rasa bersalah kini menggerogoti hati Hati yang kini kian menggunung es Kebaikan bertarung di daging hati Keburukan menetap di jiwa raga Bergulat hingga akal dicumbu nafsu Aku ingin mencampakkan hitamku Berlari sejauh kaki membawa tubuh Kutinggalkan dosa yang kian melangit Aku ingin bersih kembali meski tak suci Sesak rasanya berkubang hina Dosa itu seakan enggan hilang Aku muak pada kenyataan yang mengikat Tuhan aku ingin bebas dari belenggu dosa Kini aku bertaruh pada daun yang bertiup Hanya itu kuingin hingga ajal menjemput Sungguh aku ingin melupakan saat kelamku Keinginan tetaplah hanya tinggal keinginan Meski setelah hujan terlukis pelangi Tuhan izinkan aku berubah Berilah aku set