Disepotong senja yang perlahan mulai datang menyapa, ku coba tuliskan sebuah rasa yang tersirat dalam sebuah sajak. Ada sesuatu yang tak dapat aku ungkapkan. Ada keinginan yang tak lagi terbendung. Ada sebuah rasa yang memaksa minta diutarakan. Andai saja aku bisa kembali waktu pertama kali mata kita saling mengadu. Sungguh, aku tak ingin membalas tatapanmu. Andai saja aku bisa kembali saat pertama kali sosokmu diam-diam dapat mencairkan kokohnya gunung es dalam hati ini. Aku akan pergi berlari menjauh dan mengabaikan keberadaanmu. Jika aku paham tatapan dan senyummu adalah magnet yang dapat menarik hatiku, aku akan berpikir beribu-ribu kali untuk menatap matamu saat itu. Jika aku tahu keberadaanmu akan menjadi alasanku untuk tersenyum melewati hari-hari, harusnya aku tak mengizinkan cerita kita berlanjut setelah pertemuan kala itu. Maaf, pelan-pelan aku telah mengajakmu masuk dalam zonaku. Maaf, aku hanya mampu mencintaimu dalam barisan kata di sajakku, karena waktu dan takdi
Ini catatan tentang sebuah kisah pilu Selalu membuatku mengharu biru Hanya ada airmata disetiap ceritanya Hanya ada duka dalam helaan nafas Kini aku hanya ingin terbang pergi jauh Melepas jutaan luka yang kian merayapiku Airmata seakan tiada guna lagi Seakan tuli mendengar jeritan tangisku Seakan semua tak perdulikan deritaku Semua hanya sebuah jerat penderitaan Sungguhku iri melihat pelangi diujung badai Aku tak sanggup meringkas tinta merahku Terbayang rindu terpasung diantara beku Menari diantara bunga bertudung kelabu Dan sejuta asa yang memimpikan kebebasan Kini hujan datang memberi salam Mengungkapkan memori dibalik luka Mengetuk bingkai lapuk cerita silamku Raga seakan lelah mencari arti bahagia Dan seketika derita menjadi penutup luka Jujur aku merindukan kebahagiaan Aku rindu berada diatara orang tersayang Aku rindu menjadi orang yang dirindukan Aku rindu hidup tanpa airmata luka Aku benar-benar rindu tersenyum Dulu bahagia dan duka mulus ku lalui T