Skip to main content

Posts

Goresan Rasa di Sepenggal Sajakku

Disepotong senja yang perlahan mulai datang menyapa, ku coba tuliskan sebuah rasa yang tersirat dalam sebuah sajak. Ada sesuatu yang tak dapat aku ungkapkan. Ada keinginan yang tak lagi terbendung. Ada sebuah rasa yang memaksa minta diutarakan. Andai saja aku bisa kembali waktu pertama kali mata kita saling mengadu. Sungguh, aku tak ingin membalas tatapanmu. Andai saja aku bisa kembali saat pertama kali sosokmu diam-diam dapat mencairkan kokohnya gunung es dalam hati ini. Aku akan pergi berlari menjauh dan mengabaikan keberadaanmu. Jika aku paham tatapan dan senyummu adalah magnet yang dapat menarik hatiku, aku akan berpikir beribu-ribu kali untuk menatap matamu saat itu. Jika aku tahu keberadaanmu akan menjadi alasanku untuk tersenyum melewati hari-hari, harusnya aku tak mengizinkan cerita kita berlanjut setelah pertemuan kala itu. Maaf, pelan-pelan aku telah mengajakmu masuk dalam zonaku. Maaf, aku hanya mampu mencintaimu dalam barisan kata di sajakku, karena waktu dan takdi
Recent posts

Catatan Sejuta Luka

Ini catatan tentang sebuah kisah pilu Selalu membuatku mengharu biru Hanya ada airmata disetiap ceritanya Hanya ada duka dalam helaan nafas Kini aku hanya ingin terbang pergi jauh Melepas jutaan luka yang kian merayapiku Airmata seakan tiada guna lagi Seakan tuli mendengar jeritan tangisku Seakan semua tak perdulikan deritaku Semua hanya sebuah jerat penderitaan Sungguhku iri melihat pelangi diujung badai Aku tak sanggup meringkas tinta merahku Terbayang rindu terpasung diantara beku Menari diantara bunga bertudung kelabu Dan sejuta asa yang memimpikan kebebasan Kini hujan datang memberi salam Mengungkapkan memori dibalik luka Mengetuk bingkai lapuk cerita silamku Raga seakan lelah mencari arti bahagia Dan seketika derita menjadi penutup luka Jujur aku merindukan kebahagiaan Aku rindu berada diatara orang tersayang Aku rindu menjadi orang yang dirindukan Aku rindu hidup tanpa airmata luka Aku benar-benar rindu tersenyum Dulu bahagia dan duka mulus ku lalui T

Sebuah Drama Topeng Pendusta

Pernahkah kau berpikir tentang aku? Apa kau peduli pada perasaanku? Apakah kau anggap aku ada? Atau bagimu aku hanya mainan? Tidakkah kau mendengar jeritan hatiku? Padahal pintaku hanya sedikit, tidak lebih Tolong dengarlah sekali saja, tak perlu lebih Mungkin di matamu aku terlihat tegar Tapi kau telah salah besar menilaiku Belahan lain diriku juga bisa menangis pilu Bahkan separuhnya meminta untuk rebah Dan kau semakin menjadi-jadi menyiksaku Kau seperti si dungu berwajah lugu Kau menikmati setiap inci goresan luka ini Hai lihatlah, aku merintih dalam ringai! Aku tersenyum dalam luka! Dan aku tertawa dalam kepalsuan! Semua seperti sebuah kebohongan besar Hingga muak menjadi satu dengan lelah Aku lelah harus berpura-pura tabah Aku lelah harus selalu tersenyum palsu Bahkan diam-diam aku mengaung tangis Drama ini benar-benar membuatku muak Aku benci kenajisan yang kau ciptakan Lalu kau suguhkan pada penikmat dusta Kapan aku bisa tersenyum saat bahagia?

Salahkah Elegiku?

Hei, apakah bagimu segenggam duri bisa menjadi hiasan ronce kembang melati? Aku tuliskan bait-bait elegi dengan pena bertintakan rintihan airmata. Kemudian ku hidangkan pada mereka yang sedang haus dan kelaparan kata-kata. Kau adalah salah satu yang menelannya dan tersedak racun dari puisi elegiku Hahahahaa... ! Aku pandai menggambar fatamorgana yang menciptakan sebuah ilusi manis menipu mata. Ku kirimkan indahnya ilusi manis sebuah cinta melalui rintik derai hujan. Sampai butiran-butiran air yang mengisyaratkan rintik derai hujan berebut mengutarakan isi hatinya. Gambar yang kuciptakan itu seperti belati bermata dua yang siap mencabik dan mengoyak relung hati siapa saja yang mendengar jadi luluh lantak. Aku bukanlah penggila yang menghambakan dirinya pada cinta. Elegi telah membawa tubuhku terbang mengembara. Mengendarai kata-kata netizan yang maha benar. Zaman dimana semuanya menghujat, dan mencemooh goresan isak tangismu hanyalah seonggok sampah! Sampah! Apa yang salah

Sepenggal cinta diatas perbedaan

Kala cinta terselubung diantara kita Menyusup masuk dalam skenario hidup Melewati cercaan untuk menangkan rasa Aku tak meminta Tuhan mengirimmu Tapi mengapa kau yang datang? Jujur, ketakutan berhasil memeluk jiwaku Mungkin ini definisi sakit sesungguhnya Rasa sakit yang tak bisa diterima logika Hingga kita tau sakitnya perbedaan Dalam doa yang kita rapal setiap hari Terselip pesan airmata menyiksa jiwa Aku disini berdoa melipat jari di dada Sementara kamu menengadahkan tangan Bahkan dalam doa kita tak berdampingan Sungguh itu sangat menyakitkan sekali Mungkin inilah saatnya kita menyadari Sudah sepantasnya kita mengubur ego Seharusnya kita berfikir logis pada cinta Bahwa adalah hal yang tak bisa dipaksakan Ada sesuatu yang tak layak dipertahankan Kamu dan aku tetap tak akan menjadi satu Kamu dan aku tak akan menjadi kita Relakan saja kita berjalan masing-masing Kembalilah kamu dengan jalan awalmu Dan aku kembali dengan jalan awalku Tanpa ada perbedaan yan

Sebuah prosa untukmu tuan

Untukmu yang menganggap perhatianku hanya mainan, untukmu yang mengira cintaku hanya omong kosong. Sekarang kita bukan lagi seperti dulu. Kamu tiba-tiba menjauh tanpa sebuah alasan. Jika aku bisa berkata yang sesungguhnya, diriku sangat tersiksa. Terutama ketika bertemu denganmu, ketika menerima kenyataan bahwa jalan kita sudah berbeda. Kita bertemu setiap hari, tapi sosokmu tak bisa kusentuh. Aku selalu berusaha tak bertanya soal perubahan sikapmu, yang membuatku hampir meledak karena tak kunjung mengerti pikiranmu. Kularikan rasa rinduku dalam tulisan ini. Dimana aku bisa menangis pilu tanpa membuat tuli telingamu. Jujur, aku sangat merindukanmu dan nampaknya kau tak pernah tau betapa aku tak bisa berbuat banyak selain menunggumu bicara lebih dulu. Aku selalu membisu, meskipun rasanya ini bodoh. Tapi entah mengapa aku tak ingin melupakanmu. Kalau saja aku punya keberanian lebih, rasanya aku ingin bertanya padamu. Seberapa buta matamu, sehingga kamu tak melihat perhatianku? Seber

Maaf aku mundur

Kutulis ini bersama rasa yang terpendam Rasa yang tak pernah dapat di ungkapkan Rasa yang diam-diam telah merajai hatiku Rasa yang begitu egois untuk memilikimu Tuan kaulah pemilik kata sempurna Sikapmu sadarkanku dari sebuah ilusi Aku hanya puan yang memujamu Akulah debu yang terhempas udara Kau berhak dapatkan yang lebih dariku Kita seperti matahari dan bulan Kitalah yang disebut terang dan gelap Kita selalu tak akan pernah bersatu Meski tali perjodohan itu mengikat Terimakasih untuk perkenalan singkat ini Terimakasih telah mengisi hampa di hatiku Terimakasih atas warna-warni baru di hidupku Terimakasih kau pernah sempat hadir Walau semua hanya sesaat untukku Maaf karena aku tak sempurna Maaf aku tak seperti keinginanmu Maaf aku kalah sebelum berperang Maaf atas semua keputusanku Maaf aku memilih mundur... Jakarta, Angel Sibarani